Penyitaan buku oleh kepolisian di berbagai daerah di Indonesia telah mencuri perhatian publik baru-baru ini. Kasus ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan sosial yang disebabkan oleh aksi demonstrasi yang berujung pada kerusuhan di sejumlah daerah pada akhir Agustus lalu.
Dalam upaya mengusut berbagai kasus kerusuhan, kepolisian melakukan penyitaan barang bukti yang mencakup buku-buku tertentu dianggap berpotensi mempengaruhi tindakan para tersangka. Tindakan ini memunculkan perdebatan mengenai batasan antara kebebasan berekspresi dan penegakan hukum.
Penyitaan Buku oleh Polda Metro Jaya di Jakarta
Polda Metro Jaya menjadi salah satu institusi polisi yang aktif melakukan penyitaan. Mereka telah menetapkan lebih dari 40 tersangka terkait dengan kerusuhan yang terjadi saat demonstrasi di Jakarta. Konferensi pers yang dilakukan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa para tersangka telah dibagi dalam dua kategori.
Kategori pertama adalah mereka yang dianggap sebagai provokator, sedangkan kategori kedua adalah mereka yang terlibat dalam tindakan perusakan. Ada beberapa individu, termasuk Delpedro, yang ditangkap terkait dengan penghasutan.
Penyidik Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan di kantor Lokataru dan menemukan sejumlah buku yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Buku-buku ini dirasa penting bagi penyidikan untuk menggali lebih dalam mengenai motif di balik kerusuhan.
Menurut Ade Ary, Kepala Bidang Humas, penggeledahan ini merupakan langkah yang diperlukan untuk kepentingan penyidikan. Tindakan ini menunjukkan keseriusan kepolisian dalam menangani kasus-kasus kerusuhan yang mengganggu ketertiban umum.
Penggunaan buku dalam konteks pemeriksaan ini menjadi perhatian, karena di satu sisi buku adalah alat untuk memperoleh pengetahuan, namun di sisi lain, bisa jadi dianggap berbahaya bila dihubungkan dengan tindakan kriminal.
Polda Jawa Timur dan Kerusuhan di Surabaya
Polda Jawa Timur juga melakukan penyitaan terhadap 11 buku selama investigasi kerusuhan di Surabaya dan Sidoarjo. Kerusuhan yang terjadi akhir Agustus lalu menyebabkan beberapa tindakan penyerangan terhadap aparat kepolisian.
Seorang tersangka bernama GLM ditemukan memiliki buku-buku yang terkait dengan paham anarkisme di rumahnya. Polisi menilai bahwa bacaan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang, terutama dalam konteks aksi-aksi demonstratif yang mengarah pada kekerasan.
Dirreskrimum Polda Jatim, Kombes Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan tersebut bertujuan untuk memahami hubungan antara bacaan dan perilaku pelaku. Perangkat hukum yang ada kini semakin mempertimbangkan pengaruh berbagai jenis literatur terhadap tindakan anarkis.
Buku-buku yang disita termasuk karya-karya penting yang membahas paham anarkisme, seperti tulisan Emma Goldman dan Alexander Berkman. Hal ini menunjukkan bahwa kepolisian sedang berupaya keras mencegah oknum-oknum tertentu dari tindakan yang merugikan masyarakat.
Konferensi pers di Mapolda Jatim memaparkan bahwa penyitaan ini bukanlah tindakan sembarangan, melainkan upaya terencana dalam memahami latar belakang kerusuhan yang terjadi.
Penetapan Tersangka di Polda Jawa Barat
Di Jawa Barat, Polda telah menangkap 26 orang yang terlibat dalam aksi anarkis selama periode yang sama. Para tersangka ini diketahui melakukan tindakan merusak dengan cara yang direncanakan, termasuk penggunaan bahan peledak dan alat-alat yang dapat membahayakan.
Dari laporan resmi, polisi berhasil menemukan 14 barang bukti, termasuk buku-buku yang dianggap bisa menjelaskan motif di balik serangkaian tindakan kerusuhan tersebut. Buku-buku ini bervariasi, mulai dari manual tentang kerusuhan sampai teks-filosofi yang mendasari paham anarkisme.
Kapolda Jabar, Irjen Pol Rudi Setiawan, mengungkapkan bahwa sejumlah buku yang disita berisi panduan dan ideologi yang bisa mempengaruhi perilaku para tersangka. Penelitian tentang buku-buku ini sangat penting untuk menggali lebih lanjut akar permasalahan yang menyebabkan kerusuhan.
Pihak kepolisian juga menegaskan bahwa tindakan hukum yang diambil akan menjangkau pada mereka yang dianggap telah melakukan tindak pidana secara langsung atau tidak langsung. Proses hukum akan terus berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan mengambil langkah penyitaan barang bukti, kepolisian berusaha untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ideologi dan literatur tertentu.
Implikasi Sosial dari Penyitaan Buku
Penyitaan buku-buku ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat. Beberapa keterlibatan tokoh masyarakat dan akademisi menyuarakan kekhawatiran akan potensi pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Dalam banyak kasus, buku berfungsi sebagai media untuk menyampaikan ide dan gagasan.
Tindakan penyitaan bisa dianggap sebagai bentuk sensor, menimbulkan pertanyaan tentang batasan kebebasan akademik dan kreatif. Pelibatan literatur dalam proses penyidikan menjadi isu sensitif yang harus ditangani dengan hati-hati agar tidak mengganggu dapat hak mendasar.
Penegakan hukum yang ketat haruslah seimbang dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan diskusi publik yang lebih luas terkait dengan upaya menegakkan ketertiban tanpa mengorbankan nilai-nilai demokratis.
Masyarakat perlu waspada terhadap praktik-praktik sensor yang dapat merugikan berbagai sektor, termasuk pendidikan dan kebebasan berpikir. Dialog konstruktif antara pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencegah gejolak yang lebih besar di masa depan.
Sikap kritis terhadap tindakan kepolisian harus dibarengi dengan pemahaman mendalam mengenai konteks sosial dan politik. Upaya menjaga ketertiban umum dan menghormati kebebasan individu harus berjalan beriringan dalam masyarakat yang demokratis.