Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, baru-baru ini menanggapi kritik mengenai potensi penyalahgunaan prinsip restorative justice dalam KUHAP baru. Ia menekankan bahwa klaim bahwa sistem ini dapat digunakan untuk memeras tidak berdasar dan dijelaskan secara rinci oleh ketentuan yang ada.
Dari penjelasannya, diketahui bahwa restorative justice dapat diimplementasikan sejak tahap penyelidikan, ketika kejelasan mengenai tindak pidana masih belum pasti. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah pendekatan ini dapat disalahgunakan, tetapi menurut Habiburokhman, sistem ini memiliki batasan yang jelas.
Di hadapan media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 19 November 2025, Habiburokhman menegaskan posisi resmi DPR terkait isu ini. Ia menuntut agar pemahaman terhadap restorative justice tidak dikelirukan, menekankan pentingnya melihat mekanisme keadilan yang tersedia dalam hukum positif.
Ia juga menegaskan bahwa informasi yang menunjukkan bahwa prinsip restorative justice dapat disalahgunakan adalah tidak benar. Ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP baru memastikan bahwa setiap tindakan harus dilakukan atas dasar kesepakatan yang tidak terpaksa.
Menurut Habiburokhman, dalam pengaturan yang ada, restorative justice seharusnya tidak melanggar aspek-aspek dasar hak asasi manusia. Beliau menyatakan bahwa keseluruhan proses harus terjadi secara sukarela, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Pemahaman yang Benar tentang Restorative Justice dalam KUHAP
Restorative justice atau keadilan restoratif menjadi sorotan utama dalam diskusi mengenai reformasi hukum di Indonesia. Penggunaan prinsip ini bertujuan untuk menjembatani konflik antara pelaku dan korban melalui pendekatan yang lebih manusiawi. Sering kali, proses ini diharapkan dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana.
Penerapan restorative justice dalam KUHAP baru memberikan ruang bagi para pihak untuk mencapai kesepakatan tanpa harus melalui jalur litigasi yang panjang. Habiburokhman menekankan bahwa hal ini bisa menjadi solusi bagi banyak masalah hukum yang ada dan memberikan kesempatan untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban.
Selain itu, salah satu tujuan utama dari restorative justice adalah untuk memfasilitasi pemulihan bagi korban. Dengan memberikan mereka kesempatan untuk terlibat dalam proses penyelesaian, diharapkan akan tercipta rasa keadilan yang lebih mendalam. Hal ini menjadi kunci untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan.
Namun, penggunaan metode ini harus tetap dijaga agar tidak terjebak dalam potensi penyalahgunaan. Habiburokhman menekankan pentingnya adanya panduan dan batasan yang jelas dalam pelaksanaan restorative justice agar mekanisme ini tidak disalahartikan atau disalahgunakan oleh segelintir oknum.
Dengan demikian, sosialisasi mengenai keadilan restoratif perlu ditingkatkan agar masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik. Pihak-pihak yang terlibat harus tahu hak dan tanggung jawab mereka dalam proses ini, sehingga peran restorative justice dapat dimaksimalkan dengan baik.
Aturan dan Ketentuan dalam Penerapan Restorative Justice
Habiburokhman menjelaskan bahwa dasar hukum dari restorative justice diformulasikan di dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHAP baru. Misalnya, Pasal 79a dan Pasal 81 secara eksplisit mengatur ruang lingkup penerapan prinsip ini, termasuk langkah-langkah yang harus diambil dalam proses penyelesaian kasus yang melibatkan pelaku dan korban.
Pada dasarnya, setiap kesepakatan dalam proses restorative justice diharapkan diambil tanpa paksaan. Ini berarti bahwa kedua belah pihak—baik pelaku maupun korban—harus berada dalam keadaan sukarela, bebas dari tekanan, dan intimidasi.
Selain itu, Habiburokhman menambahkan, jika ada unsur paksaan, maka kesepakatan tersebut menjadi tidak sah dan dapat dibatalkan. Ini dilakukan untuk melindungi hak asasi manusia dan menjamin keadilan dalam proses hukum yang lebih luas.
Pentingnya mengedukasi masyarakat tentang hak-hak mereka dalam proses ini tak bisa diabaikan. Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka memiliki suara dalam sistem hukum dan bahwa mereka memiliki pilihan untuk memilih jalur penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Lebih jauh lagi, kehadiran lembaga-lembaga yang dapat memberikan bantuan hukum dan mediasi juga sangat dibutuhkan. Hal ini akan membantu memastikan bahwa proses restorative justice diterapkan dengan tepat dan efektif di lapangan.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan untuk Restorative Justice
Implementasi restorative justice di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal pemahaman dan penerimaan masyarakat. Beberapa masih skeptis terhadap tujuan dan efektivitas sistem ini dalam menegakkan keadilan. Akan tetapi, dengan pendidikan dan advokasi yang tepat, diharapkan keraguan ini dapat diatasi.
Habiburokhman optimis bahwa masa depan restorative justice akan semakin cerah. Dengan penjabaran yang lebih baik terhadap hukum dan pedoman, masyarakat akan lebih mudah beradaptasi dengan pendekatan baru dalam penyelesaian konflik. Ini merupakan langkah yang positif menuju sistem hukum yang lebih inklusif.
Selain itu, pemerintah dalam hal ini perlu melakukan pendekatan lebih manusiawi dalam menangani kasus-kasus hukum. Peningkatan dalam pengembangan kapasitas bagi aparat penegak hukum juga menjadi faktor kunci untuk memastikan penerapan restorative justice berjalan efektif.
Akhir kata, jelas bahwa restorative justice memiliki potensi untuk membawa perubahan signifikan dalam sistem hukum Indonesia. Dengan landasan yang kuat serta dukungan dari semua pihak, diharapkan konsep ini bisa menjadi alternatif yang lebih baik dalam mencari keadilan bagi pelaku dan korban.
Oleh karena itu, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan mekanisme ini perlu dilakukan secara berkala. Sehingga, setiap kekurangan dapat segera diperbaiki demi terwujudnya tujuan akhir dari restorative justice, yaitu menciptakan keadilan yang beradab dan manusiawi di tengah masyarakat.




