Anggota DPR RI dari Papua, Yan Permenas Mandenas, menyampaikan kritik keras terhadap tindakan Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang melakukan pembakaran mahkota Cenderawasih. Walaupun ia mendukung penertiban agar tidak terjadi perdagangan ilegal terhadap satwa liar, Mandenas menilai metode yang digunakan sangat tidak mencerminkan penghormatan terhadap budaya Papua.
Ia berpendapat bahwa Cenderawasih memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat asli Papua, baik dari segi budaya maupun simbolis. Pembakaran mahkota tersebut dianggapnya sebagai langkah yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi bisa juga memperburuk citra pemerintah dalam melindungi kekayaan alam dan budaya daerah itu.
Meskipun Mandenas mendukung usaha untuk menjaga kelestarian Cenderawasih, ia menekankan pentingnya penghormatan terhadap cara-cara yang lebih beretika dan bijaksana dalam melakukan penertiban. “Kita harus menghargai nilai budaya masyarakat Papua sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan,” ujarnya.
Konflik Budaya dan Upaya Penertiban Satwa Liar di Papua
Pembakaran mahkota Cenderawasih oleh BBKSDA dilakukan sebagai langkah untuk memutus jaringan perdagangan ilegal yang mengancam keberadaan satwa ini. Namun, tindakan tersebut memicu kontroversi luas di kalangan masyarakat Papua. Banyak yang menilai bahwa cara yang digunakan adalah salah kaprah dan tidak sejalan dengan semangat perlindungan lingkungan.
Mandenas menjelaskan bahwa mahkota Cenderawasih bukan sekedar barang, tetapi sebuah simbol yang kaya akan makna dan nilai bagi masyarakat adat. Mahkota ini sering digunakan dalam berbagai upacara adat, sehingga tindakan pembakarannya menimbulkan rasa sakit bagi banyak orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya tersebut.
Dia pun mengingatkan bahwa ekosistem Papua harus dijaga melalui pendekatan yang lebih sensitif terhadap kebudayaan lokal. “Kita perlu menemukan solusi yang tidak hanya efektif, tetapi juga menghormati tradisi dan identitas masyarakat,” tambahnya.
Tindakan Pembakaran: Respons Masyarakat dan Pemerintah
Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso Silaban, meminta maaf kepada masyarakat Papua atas keputusan yang telah diambil. Dia mengakui bahwa pemusnahan tersebut bisa menimbulkan rasa sakit hati dan kekecewaan di kalangan masyarakat. “Kami menyampaikan permohonan maaf yang tulus kepada seluruh masyarakat Papua,” katanya.
Silaban menekankan bahwa keputusan tersebut diambil untuk menegakkan hukum dan melindungi satwa liar yang dilindungi. Meskipun demikian, ia mengklaim langkah ini tidak dimaksudkan untuk melecehkan budaya masyarakat Papua. Dia berharap masyarakat bisa memahami bahwa upaya ini dilakukan demi kelestarian alam.
Namun, permohonan maaf tersebut tidak serta merta menyelesaikan masalah. Banyak tokoh masyarakat dan pemuka adat menuntut adanya tindak lanjut yang konkret dari pemerintah untuk memperbaiki kesalahan dan menjalin komunikasi yang lebih baik dengan komunitas lokal.
Pentingnya Dialog dan Kerjasama dalam Melindungi Cenderawasih
Dalam situasi ini, pentingnya dialog antara pihak pemerintah dan masyarakat sangat diutamakan. Mandenas menekankan perlunya pendekatan kolaboratif dalam menjaga lingkungan dan melindungi satwa liar. “Tanpa melibatkan masyarakat adat, upaya tersebut tidak akan pernah efektif,” jelasnya.
Dia juga menyarankan bahwa ke depannya, pemerintah harus lebih transparan dalam setiap tindakan yang diambil, serta mendengarkan aspirasi masyarakat. “Kami harus memastikan bahwa semua tindakan yang diambil mendorong pelestarian dan tidak merugikan budaya komunitas,” tambahnya.
Dalam konteks ini, kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi lingkungan sangat krusial. Hanya melalui kolaborasi, perlindungan terhadap Cenderawasih dan satwa liar lainnya dapat berjalan dengan baik tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada.




