Keraton Surakarta Hadiningrat saat ini sedang memasuki fase krusial dengan adanya sengketa mengenai takhta kerajaan. Dua putra Pakubuwana XIII, yaitu KGPAA Hamangkunagoro (KGPH Purbaya) dan KGPH Hangabehi (KGPH Mangkubumi), masing-masing mengklaim sebagai pewaris yang sah. Situasi ini membuka kembali catatan sejarah panjang tentang perseteruan di keluarga keraton, terutama mengenai penentuan siapa yang berhak meneruskan tampuk kepemimpinan kerajaan.
Perebutan takhta ini bukanlah hal baru di Keraton Surakarta. Sejarah serupa pernah terjadi setelah kematian Pakubuwana XII pada tahun 2004, ketika dua anaknya juga berselisih mengenai hak atas takhta. Klaim yang diutarakan oleh KGPH Purbaya menambah intensitas konfliknya, sejalan dengan kompleksitas hubungan dalam lingkungan keluarga kerajaan itu sendiri.
Dalam konteks ini, KGPH Purbaya dinyatakan mengklaim takhta kerajaan sebelum pemakaman ayahnya. Ia secara resmi menyatakan namanya sebagai penerus takhta Keraton Surakarta, yang mencerminkan dinamika internal yang sering terjadi dalam keluarga kerajaan.
Klaim dan Penolakan di Dalam Keluarga Keraton
Klaim pertama datang dari KGPH Purbaya yang mendeklarasikan diri sebagai penerus takhta dengan sebutan SISKS Pakubuwana XIV. Dalam prosesi yang dihadiri oleh berbagai pejabat tinggi, dia menghapus keraguan mengenai statusnya. Dukungan dari anggota keluarga seperti GKR Timoer menambah legitimasi klaimnya, yang menyatakan bahwa kesepakatan mengenai pewarisan takhta telah dilakukan sebelumnya.
Namun, dukungan kepada KGPH Purbaya tidak sepenuhnya bulat. Beberapa anggota keluarga, terutama dari pihak KGPH Mangkubumi, menganggap klaim tersebut tidak sah. Penolakan ini menunjukkan adanya friksi yang dalam, dari persetujuan wasiat hingga bagaimana proses pewarisan harus dilakukan.
Mangkubumi mempersoalkan keabsahan surat wasiat yang diklaim ada oleh Purbaya, berbicara tentang transparansi dalam pengambilan keputusan terkait suksesi. Ia merasa tidak fair jika hanya satu pihak yang menentukan hal tersebut tanpa melibatkan semua keluarga, dan ini semakin mempertemukan dua kubu dalam dinamika yang terus berjalan.
Sejarah Perseteruan dalam Keraton Surakarta
Perebutan takhta Keraton Surakarta sebenarnya merupakan pola yang berulang. Sejarah mencatat bahwa setelah kematian Pakubuwana XII, dua putranya terlibat dalam konflik yang berkepanjangan. Sengketa yang berlangsung bertahun-tahun itu dipenuhi ketegangan dan juga pertikaian fisik antara dua belah pihak, menunjukkan betapa kuatnya ikatan serta konflik yang terjalin dalam keluarga kerajaan.
Situasi saat ini merefleksikan dinamika tersebut, di mana struktur kekuasaan dalam keraton sering terhindar dari keteraturan. Seperti yang diperlihatkan dalam sejarah, setiap pengganti takhta memiliki sangkalan dan ambisi masing-masing untuk memegang kekuasaan. Ini menambah kompleksitas pada situasi yang sebenarnya sangat sensitif.
Perpecahan dalam keluarga sering kali memunculkan dampak yang lebih jauh, baik bagi masyarakat di sekitar keraton maupun bagi citra kerajaan itu sendiri. Kekacauan internal di dalam keluarga kerajaan bisa berdampak serius pada kestabilan wilayah tersebut, yang mungkin mengalami perubahan besar seiring dengan pergeseran kekuasaan.
Konsekuensi Sosial dan Politik dari Sengketa ini
Perebutan takhta juga berimplikasi pada masyarakat di luar keratan, menciptakan ketidakpastian. Ketika pihak-pihak tertentu mengklaim hak, masyarakat menjadi bingung tentang siapa yang benar-benar berwenang. Situasi ini bisa berujung pada munculnya friksi di kalangan pengikut masing-masing pihak, yang mungkin merasa terjebak dalam pertikaian ini.
Keluarga kerajaan sering kali menjadi simbol identitas dan tradisi bagi masyarakat. Ketika mereka terlibat dalam konflik terbuka, suara publik bisa menjadi beragam, ada yang mendukung salah satu pihak, sementara yang lainnya memilih untuk tetap netral. Keharmonisan dalam keraton dan pengaruhnya terhadap masyarakat menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan secara seksama.
Masyarakat setempat tidak hanya berhubungan dengan keraton sebagai tempat tinggal pemimpin, tetapi juga sebagai pusat dari berbagai tradisi dan budaya yang telah ada selama berabad-abad. Konflik yang berkepanjangan hanya akan memudarkan keterikatan antara keraton dan masyarakat, dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap pewaris takhta yang ingin mendapatkan dukungan.




